Sunday, September 20, 2015

Inilah Perbedaan Pembatalan Nikah dengan Perceraian

HUKUM, KELUARGA DAN WARIS - Pembatalan nikah dan perceraian adalah salah satu alasan putusnya perkawinan. Keduanya memiliki persamaan sekaligus perbedaan.

Persamaan pembatalan nikah dan perceraian adalah hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan batalnya perkawinan dimulai setelah kekuatan putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Lalu Pasal 39 UU Perkawinan menegaskan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua pihak.

Sementara perbedaan keduanya, salah satunya adalah soal siapa pihak yang berhak menjadi pemohon. Dalam perceraian, permohonan dilakukan oleh salah satu pihak, suami atau istri. Sedangkan pembatalan, selain dapat dilakukan oleh suami atau istri, juga bisa diajukan oleh pihak lain seperti orang tua pasangan.

Perbedaan lain adalah mengenai akibat hukum. Pada perceraian, sangat mungkin terjadi sengketa mengenai gono-gini karena memang pernikahan sebelumnya tetap diakui. Sementara pada pembatalan nikah, pernikahan dianggap tidak pernah ada sejak awal. Sehingga sulit bagi salah satu pihak menuntut harta gono-gini.

Perbedaan lain adalah mengenai alasan-alasan pembatalan dan perceraian perkawinan yang akan diuraikan di bawah ini.

Alasan Perkawinan Batal dan Dapat Dibatalkan
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang dapat membuat perkawinan batal atau dapat dibatalkan, yaitu antara lain:
1. Perkawinan batal apabila:
    a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah                   mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu dalam iddah talak raj'i.
    b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li'annya
   c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas        istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dari            pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
   d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan       sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1               tahun 1974 yaitu :
  • berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
  • berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
  • berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri
  • berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

    e.    istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
2.    Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
     a.    seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
     b.    perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang                     mafqud;
      c.    perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
     d.    perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7                 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
     e.    perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
     f.     perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Apabila ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Alasan Perceraian

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. suami melanggar taklik-talak.
  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Melihat pada uraian mengenai alasan pembatalan perkawinan dan perceraian di atas, jelas bahwa paksaan menikah dapat menjadi alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.

Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor: 1175/Pdt.G/2011/PA.Wsb., Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena pernikahan antara Pemohon dan Termohon terjadi karena dijodohkan oleh orangtua Pemohon dan dipaksa untuk segera menikah. Pemohon menyebutkan bahwa ia tidak mengenal Termohon secara baik sehingga Pemohon tidak mencintai Termohon. Pemohon mau menikah dengan Termohon karena rasa takut dan ingin mengabdi kepada orangtua Pemohon. Setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orangtua Termohon selama 2 minggu, kemudian pisah sampai sekarang (saat permohonan ini) sudah 1 tahun. Atas permohonan tersebut, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan membatalkan pernikahan Pemohon dan Termohon.

Contoh lain adalah Putusan Pengadilan Agama Arga Makmur Nomor 0116/Pdt.G/2014/PA.AGM, dimana Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena pernikahan tersebut terlaksana atas paksaan dan ancaman dari pihak keluarga Termohon, yang mana pihak keluarga Termohon mengancam akan melaporkan Pemohon ke pihak kepolisian atas tuduhan bahwa Pemohon telah melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami isteri terhadap Termohon, padahal tuduhan tersebut tidak pernah Pemohon lakukan. Akan tetapi, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, tidak ada paksaan, sehingga Hakim memutuskan tidak menolak permohonan Pemohon.

Akan tetapi, pada praktiknya, paksaan untuk menikah bisa menjadi salah satu alasan perceraian. Seperti pada Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 1679/Pdt.G/2012/PA.Bjn mengenai perkara permohonan ijin cerai talak. Pada awalnya antara Pemohon dan Termohon tidak pernah saling mengenal, tidak pernah saling bertemu, tidak pernah saling menyukai karena sebelum Akad Nikah Pemohon masih berada di Pondok Pesantren. Termohon mempunyai penyakit keterbelakangan mental yang seharusnya tidak dapat dinikahi oleh Pemohon karena sewaktu-waktu dapat membahayakan jiwa Pemohon itu sendiri dan keluarganya. Pada saat Akad Nikah, Termohon sudah hamil 6 bulan yang bukan hasil hubungan suami istri antara Pemohon dan Termohon tetapi hasil perbuatan/zina dengan pria-pria lain. Pemohon bersedia menikahi Termohon karena di bawah tekanan sehingga terpaksa Pemohon menyetujuinya, tanpa memberi waktu kepada Pemohon untuk berpikir.

Pernikahan yang didasarkan pada paksaan orang lain itu berujung pada rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat dirukunkan dan para pihak tidak keberatan apabila keduanya bercerai. Hakim pada akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak 1 ba’in sughro terhadap di hadapan Sidang Pengadilan Agama Bojonegoro.

Ini berarti, jika menikah karena paksaan pada umumnya para pihak akan mengajukan permohonan pembatalan nikah. Jika yang diajukan adalah permohonan perceraian, maka biasanya paksaan hanya menjadi salah satu alasan yang membuat hubungan suami istri tidak rukun.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

No comments:

Post a Comment