HUKUM, ILMU HUKUM - Persoalan kurikulum ini dibahas dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang perdata, prinsipnya, secara hukum, siapapun yang merasa dirugikan berhak untuk menggugat pihak lain yang menyebabkan kerugian itu timbul. Ia berhak menuntut secara perdata (burgerlijke vordering) pihak yang menyebabkan kerugian.Prinsip ini sangat umum dalam dunia hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Hal pokok yang harus diperhatikan saat mengajukan gugatan adalah posita atau dasar gugatan. Orang hukum menyebutnya fundamentum petendi. Jika ingin mengajukan gugatan, Anda harus benar-benar memperhatikan apa dasar mengajukan gugatan tersebut. Sebab, kalau tidak ada dasar yang kuat, maka gugatan Anda akan dinyatakan gugur atau kabur. Apa dasar gugatannya? Pertama, disebut dasar hukum.
Dalam hal ini Anda harus mempunyai hubungan hukum dengan (i) objek yang akan disengketakan, dan (ii) tergugat yang hendak digugat. Hubungan hukum itu melahirkan kepentingan Anda langsung sebagai penggugat. Kedua, dasar fakta, yaitu penjelasan mengenai fakta atau peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini adalah kampus tidak melaksanakan perkuliahan sesuai kurikulum.
Dalam konteks kasus Anda, menjadi penting untuk menjawab siapa yang membuat kurikulum dan apakah kampus punya wewenang untuk mengubah isi kurikulum. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyebutkan ‘kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pemblajaran untuk mencapai tujuan tertentu’.
Kurikulum, kata undang-undang yang sama, dikembangkan sesuai prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Khusus untuk pendidikan tinggi, hanya tiga yang diwajibkan dimuat dalam kurikulum yaitu pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.
Ini berarti perguruan tinggi diberi banyak kepercayaan untuk menyusun kurikulum. Untuk memudahkan dan menyeragamkan, biasanya himpunan program studi sejenis dan Ditjen Pendidikan Tinggi membuat panduan atau kesepahaman lebih lanjut mengenai kurikulum.
Jika rencana gugatan itu didasarkan pada dugaan pelanggaran wewenang oleh pihak kampus maka penting untuk menyimak ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan (4) UU Sisdiknas berikut:
- Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
- Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
Dari rumusan pasal di atas, maka peluang mempersoalkan pengembangan kurikulum adalah sesuai tidaknya dengan standar nasional pendidikan untuk setiap program studi yang telah dibuat oleh pemerintah dan/atau organisasi pendidikan tinggi.
Sudut pandang kedua adalah mempersoalkan substansi kurikulum yang dikembangkan kampus – dan lantas diajarkan di kelas— dari sisi administrasi. Dari perspektif, kita beranggapan bahwa kurikulum yang diajarkan di kampus Anda diputuskan melalui surat keputusan Rektor atau Dekan/Ketua Jurusan/Ketua Program Studi. Ternyata kurikulum dalam SK itu tak sejalan dengan kebijakan kurikulum nasional. Jika perspektif ini yang ingin digunakan, maka gugatan Anda harus disampaikan melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara. Tetapi perlu dicatat bahwa (i) yang diminta adalah pembatalan SK kurikulum; dan (ii) SK itu memenuhi syarat sebagai objek Tata Usaha Negara.
Jika secara formal Anda memiliki hak untuk mengajukan gugatan, maka yang harus dipastikan adalah perbuatan kampus itu melanggar hukum atau melanggar perjanjian. Apakah Anda punya perjanjian dengan kampus bahwa kampus akan menerapkan kurikulum tertentu, misalnya? Jika tidak, maka peluangnya adalah menggunakan instrumen gugatan karena kampus melakukan perbuatan melawan hukum. Persoalannya adalah membuktikan bahwa perubahan kurikulum itu melanggar hukum. Normatifnya, perguruan tinggi punya wewenang mengembangkan kurikulum, sedangkan pemerintah hanya membuat Standar Nasional Pendidikan (vide Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 juncto PP No. 19 Tahun 2005).
Bagaimana dengan perkuliahan yang tak sesuai kurikulum? Kuliah pada dasarnya dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dibuat kampus bersangkutan. Karena itu, jadwal kuliah kampus bisa berbeda-beda. Kalau kampus sudah membuat jadwal tetap lalu seorang dosen mengubah jadwal tersebut karena satu sebab atau faktor lain, maka kesalahan itu tak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada kampus. Jika menurut aturan harus ada 14 kali kuliah, misalnya, tetapi perkuliahan hanya satu kali, tentu saja Anda berhak mempersoalkan itu. Sebelum menggunakan jalur pengadilan, sebaiknya Anda menggunakan mekanisme internal di kampus. Sebab, kampus punya mekanisme evaluasi perkuliahan dan dosen/pengajar.
Dasar Hukum
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
No comments:
Post a Comment